Rabu, 03 November 2010

Bagaimana Menjadi Guru sebagai Pendidik yang Membebaskan?

Disini saya ingin memulai dengan pertanyaan yang biasa diajukan para guru dan siswa: bagaimana saya dapat menjadi pendidik yang membebaskan? Bagaimana saya mentransformasi diri sendiri? 
Guru dan siswa hanya mempunyai sedikit peluang untuk membangun kelas yang membebaskan. Program pelatihan biasanya tradisional dan sekolah menghambat eksperimentasi. Sehingga pertanyaan tentang model merupakan hal pertama yang diajukan. Hal lain yang muncul dalam pertanyaan: apa beda pendidikan yang membebaskan dengan pengajaran tradisional? Bagaimana hal tersebut berkaitan dengan perubahan social? 
Banyak dari aktivis generasi 1960-an mulai membahas berbagai bentuk pendidikan. Muncullah cara belajar yang baru, seperti gerakan-gerakan sekolah alternative, sekolah merdeka, percobaan pengajaran radikal, serta berbagai seminar informal yang digelar oleh satu gerakan dan yang lainnya. Sebagai mahasiswa ilmu pendidikan semua kegiatan lebih banyak tentang politik, rasisme, seksisme, dan kapitalisme. 
Banyak dari kita yang mengikuti persekolahan tradisional telah mendengar ceramah sebagai tidak lebih dari alih pengetahun secara lisan, yakni saluran lisan aliran pengetahuan. Kita sangat jarang terprovokasi oleh penemuan ulang pengetahuan yang ada di depan kita dengan cara menarik, dimana bahasa yang digunakan menghimbau kita untuk memikir ulang cara kita memandang realitas. Ini menuntut banyak praktik bagi para guru. Hal ini juga menuntut pilihan politik untuk memposisikan diri sebagai oposan, yang mampu melihat perbedaan antara alih pengetahuan melalui ceramah dan suara atau sebagai pemapar masalah yang mampu menantang pengetahuan resmi yang menggerakkan siswa untuk bergerak. Selain itu kuliah yang membebaskan sangat kriti sehingga mengilhami dorongan kepada para siswa yang tumbuh bersama dialog yang mereka lakukan. Guru yang bersiap diri melakukan presentasi harus berani bertanya apakah kata-katanya berakar dalam wacana yang pernah dipahami bersama di dalam kelas ataukah sekadar tampilan akademis atau bahan-bahan yang jauh dari kesadaran para siswanya. 
Mengetahui bukan sekadar mengunyah fakta, tidak ada yempat mengunyah yang lebih dari pengajaran dengan setumpuk daftar bacaan. Guru dan siswa, secara teratur bertanya bagaimana menerapkan pendekatan dialogis pada materi ajar dan pelatihan kemampuan teknis. Ada yang menyatakan bahwa pengajaran menulis, keaksaraan dan komunikasi merupakan situasi yang paling mungkin untuk melaksanaan pendidikan yang membebaskan karena di dalamnya hanya menyangkut pengajaran batang tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang kecil saja. Pelathan komunikasi mereka anggap akan membuat mereka mampu melaksanakan diskusi secara alami. Sedangkan batang tubuh sains, kerekayasaan , perawatan dan ilmu social karena banyaknya bahan yang harus dicakup akan menyebabkan para guru bersangkutan harus menduga-duga bagaimana menjadikannya dialogis.
Namun demikian terlihat adanya kelelahan atau kehangusan system tradisional dalam memberikan pengetahuan kepada siswa. Guru yang mempunyai banyak murid dan kelas yang mengajarkan subjek ajar yang sama dalam waktu panjang yang mengajar di sekolah atau kolese muram, yang menyerah pada satu atau beberapa ‘rezim’ ujian, biasanya kurang memiliki keyakinan atas apa yang dilakukannya. Kurikulum resmi tidak menginspirasi guru atau siswa, sehingga ia sangat berbahaya sebagai alternatif. 
Bicara tentang ‘hangusnya’ pendidikan mendorong untuk berbicara tentang pencerahan. Pendidikan yang membebaskan dapat menawarkan ganjaran dari pendekatan yang lain. Guru dan dituntut untuk melihat kegiatannya dalam kontens global, yang memberikan semangat utopian yang hilang entah kemana. Banyak yang ingin diketahui seorang guru, antara lain adalah beberapa banyak kegiatan ekstra yang harus diberikan, dan berapa banyak hal baru yang harus dipeajari. Metode tradisional, yang bertumpu pada pendekatan alih pengetahuan merupakan penghalang tebesar karena tidak dapat dilaksanakan. Cara ini mengundang hambatan dari siswa. Metode dialogis juga akan bekerja, hanya saja ia mensyaratkan potensdi kreativitas dan terobosan yang mampu memberikan hasil luar biasa, yakni saling mencerahkan. 
Guru mungkin akan berkata bahwa mereka telah membaca jurnal professional dan buku-buku baru, yang sesuai bidang mereka, sehingga mereka menyebut diri selalu mengembangkan diri. Mereka menghadiri seminar guna mendengar ide-ide baru. Walau begitu, pengertian militant sungguh beda. Proses kerja bukan hanya sekadar menumbuhkan profrsionalitas. Ia adalah transformasi diri dan masyarakatnya, sebagai momen yang menyatukan belajar dan pengubahan masyarakat. 
Oleh sebab itu, guru bukan merupakan ‘puncak’ perkembangan yang harus dicapai siswa. Siswa bukan armada yang mencoba menggapai guru yang telah berhasil dan menunggu di pantai. Guru juga perahu itu sendiri! Gerakkan transformasi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar